Coffee Nap Works for Me. Sort of.

Kemarin sebuah artikel dari VOX mampir di timeline saya. Artikel ini membahas klaim para ilmuwan yang mengatakan bahwa kantuk nggak cukup hanya dilawan dengan minum kopi saja atau tidur-tidur ayam (nap) saja.

Penjelasan ilmiahnya, termasuk kenapa setelah mengkonsumsi kafein (yang harusnya bikin nggak ngantuk) kita malah disarankan untuk tidur, bisa dibaca di artikel tersebut.

Karena saya sedang ngantuk2nya tapi harus menyelesaikan satu hal, saya memutuskan untuk mencobanya. Lagipula caranya sederhana saja, minum kopi lalu tidur selama maksimal 20 menit. Menurut artikel itu, nggak masalah meskipun nggak bisa langsung lelap. Asal bisa masuk kondisi setengah tidur dengan tenang, sudah cukup.

Jadi setelah menghabiskan segelas iced pour over Gayo Wine, saya setel alarm untuk 20 menit di hape saya lalu atur posisi di kursi kantor dan mulai mencoba tidur.

Menit demi menit berlalu tanpa saya bisa terlelap meski sudah cukup lama memejamkan mata. Biasaya saat kelewat mengantuk begitu saya justru susah tidur. Ada saja hal2 random yang mendadak muncul, menggelitik otak untuk berpikir, mencegahnya beristirahat, dan membuat pikiran saya makin mengembara ke mana2.

Saat baru saja mulai merasa hanyut ke alam bawah sadar, mendadak saya tersentak dikejutkan oleh alarm yang suaranya saya benci banget itu. Saya terduduk sambil beberapa saat memegangi kepala yang agak berat dan pusing, mencoba menyesuaikan diri setelah kembali ke dunia nyata, masih nggak nyangka 20 menit sudah lewat begitu saja. Alarmnya masih bunyi, btw.

Saya matikan alarm dan beranjak kembali ke meja kerja. Ketika mulai menyalakan laptop saya merasa kantuk saya hilang, fully alert, dan fokus. Entah hasil dari metode coffee nap tadi atau karena efek kaget suara alarm. But damn I felt fresh! Dan satu item di to-do list yang sudah tertunda berhari2 kelar hari itu.

Kayaknya saya harus nyoba lagi dalam kondisi “ngantuk yang normal” untuk ngeliat apakah metode ini memang benar2 berhasil, bukan di mode “kurang tidur banget sampe ngantuknya level hardcore”.

Sumber: vox | Scientists agree: Coffee naps are better than coffee or naps alone

Featured image: “2/365 Shadow of the cup” by David Phillips on Flickr

Kecelé

kecele/ke·ce·le/ /kecelé/ a cak dalam keadaan tidak mendapat (menemukan, memperoleh) apa yang diharapkan (diduga, dicari, dan sebagainya)

https://kbbi.web.id/kecele

Satu pagi di atas kereta Jakarta-Malang, saya terbangun mendengar sayup2 suara dari speaker ponsel penumpang di hadapan saya. Rupanya dia sedang nonton sesuatu. Nggak jelas apa yang dia tonton, tapi saya mendengar seseorang berbicara dalam bahasa Arab.

Saya lirik jam di ponsel saya, masih subuh. Orang ini mungkin baru saja menunaikan salat subuh dan sedang menonton ceramah agama di YouTube atau semacamnya, pikir saya. Seketika saya salut. Usianya masih muda, tapi memilih menghabiskan waktu dengan hal bermanfaat ketimbang main game, mendengarkan lagu, atau sekrol2 timeline.

Karena kantuk masih menggelayut, saya memutuskan untuk kembali memejamkan mata. Tapi karena makin lama nada bicara penceramah berbahasa Arab tadi makin tinggi, kantuk saya hilang, berganti jadi rasa penasaran dengan topik kajian yang dibahas, yang sedemikian seru sehingga membuatnya berbicara menggebu2. Bahkan saya bisa mendengar riuh sambutan para penontonnya.

Saya sempat membayangkan ceramah menggebu2 ini dilakukan di lapangan terbuka di hadapan setidaknya ratusan orang.

Tapi rasa penasaran itu kemudian terjawab ketika akhirnya saya mendengar “penceramah” tadi berteriak lantang,

“GOOOOOOL! YA ALLAAAAH! YA ALLAAAAH! GOOOOL!”

Rupanya sedari tadi saya mendengarkan ocehan komentator bola berbahasa Arab. Karena sungkan, saya ngakaknya dalam hati aja.

Ada yang pernah kecelé juga seperti saya?

Studio Bakso: Restoran Bakso Buat Pecinta Fotografi

Dari sudut pandang konsumen kita mengamati tren bisnis kuliner yang makin bergeser, nggak hanya sekadar menjual produk tapi juga “menjual” tempat dan suasana.

Sepuluh tahun lalu rasanya nggak banyak tempat ngopi dan rumah makan di Malang yang memberikan perhatian lebih pada tampilan bangunannya. Selain kafe dan resto yang memang menyasar konsumen berduit tebal, warung kopi dan kedai bakso biasanya ya begitu-begitu saja bentuknya: sekadar ada meja dan kursi untuk pelanggan yang makan-minum di tempat.

Belakangan ini penampilan interior dan eksterior sepertinya mulai menjadi hal utama yang dipertimbangkan saat akan membuka tempat berjualan makanan dan minuman. Saya rasa ini berkat peran internet juga. Para pengusaha mulai melihat potensi eksposur foto dan video di jejaring sosial, misalnya, sebagai alat pemasaran yang sangat efektif, apalagi jika datang dari sesama pengunjung yang biasanya jadi rujukan utama calon pengunjung lainnya.

Kesan itulah yang saya dapat saat mengunjungi Studio Bakso di Jalan Sukarno Hatta Malang pertengahan Oktober kemarin. Setiap sudut ruangannya dipenuhi instalasi seni yang mengundang pengunjung untuk mengarahkan kamera ponsel dan mengabadikannya. Kesan bersih, modern, dan artsy bisa dijumpai di mana-mana. Bahkan sudut teras lantai duanya juga nggak luput dari sentuhan seni.

Tampilan interiornya yang apik juga didukung dengan penataan cahaya yang bagus. Rasanya nggak berlebihan kalau saya bilang pecinta food photography, atau bahkan fotografi secara umum, akan menemukan secuil surganya di sini.

Nggak hanya mempercantik penampilan, Studio Bakso juga berinovasi melalui menunya. Selain sajian bakso dan somay yang lazim kita temui di kedai-kedai bakso pada umumnya, mereka juga punya menu unik seperti Bakso Gantung Cocolan Kekinian dengan Pilihan Saos (yang juga) Kekinian.

Selain masalah istilah “kekinian” yang menurut saya overused (seriously, c’mon) dan kuah yang kurang cocok buat saya, saya nggak punya komplain lain.

Oh iya, kuah. Mari kita bahas kuahnya. Tadinya saya pikir cuma saya yang kurang sreg sama kuahnya. Ternyata beberapa teman yang saat itu makan bareng juga punya komentar serupa. Agak disayangkan mengingat hal pertama yang dicicipi orang ketika mulai menyantap semangkuk bakso adalah kuahnya karena di situlah soul-nya. Maka kesan dari sesapan kuah pertama itu sangat menentukan penilaian terhadap keseluruhan hidangan, bahkan bisa mempengaruhi kesan terhadap kedainya.

Tapi saya masih punya harapan mereka akan memperbaiki rasa kuahnya. Lagipula restoran ini masih tergolong baru. Masih banyak ruang yang bisa dibenahi. Sangat berharap ketika datang lagi satu hari nanti, saya akan menemukan kuah yang lebih nikmat, melengkapi rasa baksonya.

Nah, sekarang baksonya. Meski rasa kuahnya agak meleset dari ekspektasi, tapi segera termaafkan dengan rasa baksonya yang punya tingkat chewy yang pas. Nggak terlalu keras, juga nggak terlalu lunak, dan rasanya juga enak. Terlebih ketika baksonya dilumuri keju American Cheese yang berlimpah. Saya pribadi bukan penggemar keju, tapi melihat reaksi seorang teman saat menyantapnya, saya bisa bayangkan bahagianya para pecinta keju mencoba menu ini.

Tapi jangan terlalu percaya apa kata saya, datang dan nilai sendiri saja. Mumpung mereka juga sedang mengadakan kontes fotografi berhadiah voucher dan hadiah hiburan lainnya. Kabar-kabar kalau Anda menang kompetisi berkat informasi di blog ini ya. Nggak, saya nggak minta jatah kok. Pingin tau aja.

Naik Angkot Lagi

Kalau ada satu pelajaran berharga yang harusnya bisa saya petik dari kembali menggunakan angkot setelah 10 tahun meninggalkan kota ini, itu adalah percaya saja sama pak sopir atau sekalian tanya, jangan pernah mengandalkan intuisi.

Hari Senin yang lalu contohnya. Karena selama perjalanan asik dengan ponsel, saya kaget saat melongok ke luar jendela dan menemukan saya berada di wilayah yang menurut saya agak asing.

Nengok ke kaca jendela belakang, jurusan yang tertera adalah ABH (Arjosari-Borobudur-Hamid Rusdi), bukan ABG (Arjosari-Borobudur-Gadang) yang harusnya saya naiki.

Lah? Saya salah naik angkot? Lebih lagi, ini jalur baru? Sejak kapan?

Setelah turun dan membayar ongkos, saya perhatikan angkot yang mulai menjauh itu. Di sisi sampingnya tetap tertera jurusan ABG. Saya melihat sekeliling berusaha mengenali daerah tempat saya turun. Ternyata kawasan Sukarno Hatta, jalan yang memang dilalui angkot jalur ABG. Nggak heran saya hampir nggak mengenalinya. Banyak sekali perubahan di sana-sini.

Karena angkot tadi sudah terlalu jauh untuk dikejar, saya memutuskan menunggu angkot berikutnya.

Belakangan saya baru tahu tentang Hamid Rusdi, terminal pengganti selama terminal Gadang direnovasi. Itu sebabnya di kaca belakang angkot ABG tertera nama jalur baru, ABH.

Hari itu saya naik angkot 2 kali untuk tujuan yang sama.

But, wait! There’s more!

Pagi ini saya kembali naik angkot dengan jalur yang sama. Di Jalan Sukarno Hatta, kali ini di lokasi yg nggak jauh dari kantor (yep, saya harusnya cek Google Maps dulu), pak sopir memutuskan untuk berhenti menunggu penumpang sambil baca koran. Karena sepertinya bakal lama, saya memutuskan untuk turun dan berjalan kaki. Toh sudah nggak terlalu jauh. Ya, kan?

Salah! Ternyata masih jauh. Banget.

Setelah jalan beberapa puluh meter, angkot tadi perlahan mandahului saya. Tentu saja tengsin untuk naik lagi kan?

Saya akhirnya memilih tetap melanjutkan jalan kaki ketimbang naik angkot berikutnya dan mengulangi kesalahan yg sama seperti hari Senin kemarin.